Rabu, 02 Januari 2013

FF One Direction- Choise


 Author : JewelAMD
Tittle      : Choise
Genre   : Romance
Cast       : salsabila Devina
                 Niall james horan
                 Casandra park
Rating   : PG 13
Length  : oneshoot

maaf banyak typo. buat seseorang yang ulang tahun tanggal 2 januari kemarin, Ini kado, wakawkw. (kado jelek) --

Happy reading^^

Salsabila Devina pov*

Kami hidup dibawah langit yang sama, saling menyayangi.. saling membutuhkan.. tapi kami tak bisa bersama..

                Aku bangkit dari tempatku berjongkok, mengibas-ngibas butiran pasir yang melekat dei celana jeansku. Kubiarkan kaki telanjangku dijilat nakal gulungan ombak. Aku ingin memandangi pantai lebih lama lagi, berharap rasa terluka ini bisa lenyap seperti gulungan ombak yang kembali meninggalkanku. Terdiam, itulah yang bisa kulakukan saat ini. Entah kenapa setiap pikiranku kalut, aku selalu dating kepantai. Bukan ingin melihat matahari terbit atau terbenam, aku.. hanya ingin melihaat ombak yang dating dan pergi sesukanya. Jujur, aku ingin seperti mereka.
                Kuhela nafas panjang seolah ingin menyuplai semua oksigen ke paru-paruku, sebelum akhirnya kuputuskan untuk kembali melangkahkan kakiku. Aku tau, dibelakangku ombak kemblai datang melenyapkan tulisan di pasir putih yang beberapa detik lalu kutinggalkan.  Bebrapa pengunjung pantai melihatku sambil menahan tawa, membuatku tersadar jika penampilanku begitu acak-acakan saat ini. tapi, apa peduliku? Aku hanya ingin mencari ketenangan. Aku hanya ingin membuang lukaku ditempat ini. jadi, apa masalahnya? Toh aku juga tak mengenal mereka.
  Aku terus berjalan di pinggir pantai, dua hari terus berjalan tak membuatku lelah dan taka da niatan dariku untuk berhenti.. setidaknya rasa sakit di kakiku tak bisa membuatku melupakaan rasa sakit di hatiku. Dua hari lari ke tempat ini tak merubah apapaun, baying-bayangnya masih menghantuiku, perasaan ini masih tak menentu, dan pilihan ini masih 50%-50%. Kujinjing sepatuku semakin tinggi, kakiku mulai menendang-nendang pasir dengan kesal. “Bodoh! Kau Bodoh Salsabila Devina! KAU BODOH!” aku berteriak sekencang mungkin, berharap angina membawa semua kegundahanku dan tak akan membawanya kembali, meski aku tau semakin banyak mata yang menatapku heran. Untuk sekejap dadaku terasa sesak, air mata ini tiba-tiba mendorong keluar, kakiku lemas tak bisa lagi menopang tubh kurusku. Aku terjatuh, di pinggir pantai, di atas pasir putih, di tengah hiruk pikuk manusia, dadaku semakin sakit, tangis ini semakin deras layaknya sebuah hujan badai. Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini?
Kupejamkan mataku rapat-rapat, kuharap setelah aku membukanya ini semua hanya mimpi, rasa sakit ini taka da lagi. Tapi.. aku salah, rasa terluka ini semakin nyata. “Kakak, kenapa? Jangan menangis, kata mama kalo kita menangis kita tambah jelek” suara mungil itu menyadarkanku, membuatku mendongak menatapnya. Bocah laki-laki itu ada di hadapanku, tangannya menyodorkan selembar tissue. Aku hanya menatapnya, dan dia mendekatiku, menghapus tiap tetes air mataku dengan tissue-nya. “Ah sudah selesai, airnya hilang” bocah itu tersenyum, senyum yang begitu tulus tanpa satu bebanpun yang terlihat dari matanya. “Rain, ayo pulang sayang” suara lain yang lebih hangat berteriak di belakangku, bocah itu tersenyum lebih lebar melihat wanita yang tadi berteriak., mungkin namanya adalah Rain. “Kakak, aku pulang dulu ya, jangan menangis lagi” Rain meninggalkanku kearah wanita tadi, mereka berpelukan hangat. Ah, hangat. Bisakah aku merasakan kehangatan itu? Kehangatan yang begitu kuidam-idamkan. Kehangatan yang selalu kubayangkan akan menjalar ke seluruh tubuhku.
Kurogoh saku celana jeansku. Kudapati ponselku yang sudah 36 jam ku-non-aktifkan. Perlahan, tanganku tergerak untuk mengaktifkannya, 3 missedcall dan 15 pesan manunggu untuk dibaca. 3 pesan dari Casandra, 7 pesan dan 1 missedcall dari Hyena, juga.. 5 pesan dari laki-laki itu. Laki-laki yang membuatku lari, laki-laki yang membuat pilihan ini mnejadi susah, dan mngkin.. laki-laki yang berharga dalam hidupku.
 Tak mau memandang pesannya terlalu lama, kuputuskan untuk menekan bebrapa nomor yang begitu kuhafal. “Bodoh..” “Kau dimana?” potongku cepat ketika aku mendengar makian seseorang di seberang sana. “Harusnya aku yang bertanya kau dimana sekarang! Kau menghilang 2 hari tanpa kabar sedikitpun, bodoh!”  Hyena berteriak mati-matian, membuat gendang telingaku bergetar berlebihan. “Akan kuceritakan semua jika  aku sudah tau keberadaanmu” jawabku tenang, aku tak ingin membalas teroiakannya karena tenangaku benar-benar terkuras untuk menangis dua hari ini. “Aku di café milikku” jelas Hyena yang langsung kujawab anggukan meski dia tak bisa melihatnya,”20 menit lagi aku sampai”

*Niall Pov*

Sedari tadi kuputar-putar hp ku, kumainkan, sesekali kucek apakah ada balasan darinya. Tapi nihil yang kutemukan. Berhari-hari dia tak menjawab panggilanku, jika bertemu di studio tempatnya bekerja dia selalu menghindar, bahkan beberapa hari ini ponselnya tak bisa dihubungi.  Entah kenapa, aku tak tau apa penyebabnya melakukan ini. tapi yang jelas dia bukanlah gadis yang kukenal 5 tahun ini, dia orang asing. Kuhela nafas berat, gadis itu benar-benar membuatku gila. Tak satupun pekerjaanku terselesaikan hany karena kau memikirkannya, melukis baying-bayang wajahnya, dan cemas dengan kondisinya,, kuacak rambutku frustasi, aku benar-benar dibuat gila hanya karena seorang gadis yang lebih muda satu tahun dariku, seorang gadis yang sederhana dan cuek, tapi kesederhanaan itu justru membuatku tergila-gila padanya.
Kurasakan ponsel yang ada di genggamanku bergetar, buru-buru kujawab panggilan itu, berharap gadis sederhana itu yang menlfonku. “Halo, Niall?” suara seorang gadis di seberang sana, tapi bisa kupastikan jika dia bukan gadis yang kucari. Gadisku.. ah bukan, dia bukan gadisku, gadis tengil itu tak akan memanggilku sesesopan itu. “ya, kau siapa?” “Aku Casandra Han, masih ingat?” tak butuh lama bagiku untuk manyusun baying-bayang wajahnya, aku sudah bisa mengingatnya. Casandra Han, teman semasa SMPku, juga.. cinta pertamaku. “Ada apa?” tanyaku singkat. Aneh, bukankah selama ini aku menanti dia kembali? Tapi kenapa sekarang kebahagiaan ini samar? “Bisakah kita bertemu? Aku merindukanmu” kurasakan jantung ini berdetak saat kalimat itu keluar dari mulutnya, sekalipun tak sekeras dulu, tapi aku bisa menangkap detakan kecil disana. “Baiklah, dimana?” “Tempatnya akan kuberi tau lewat sms,”

*Salsabila Devina Pov*

Kusesap sekali lagi coklat hangatku, didepanku sudah ada Hyena yang menunggu critaku dengan bertopang dagu. “Dari mana saja kau 2 hari ini?” gadis itu memasang wajah kesal kearahku. Aku tau, sebentar lagi aku habis di bentak olehnya. “Pantai” 1 kata, hanya 1 kata yang keluar dari mulutku, taka da imbuhan atau tanda seru disana. “Kalau kau punya masalah, harusnya kau lari ke ibumu, bukan ke pantai” “Ibu yang mana maksudmu? Ibu yang membuangku? Atau ibu yang memberi pilihan sulit padaku?” aku menatap Hyena tajam, gadis itu menggigit ujung bibirnya seakan sadar dia salah bicara. “Aku tak mengharpkan seorang Ibu, pantai jauh dari cukup untuk memberiku ketenangan” bisa kurasakan air mata memanas, ada air mata disini. Air mata yang mati-matian kubendung. “Lalu, apa pilihanmu?” aku menggeleng pelan. “Pilihan itu terlalu susah, taka da yang 100%” kudongakkan wajahku, aku takut jika aku menunduk bulir ini akan jatuh. “Tak ada pilihan yang 100% Devina, pilihan itu 50%-50%, kau yang bertugas memilihnya dan menjadikannya 100%” aku terdiam, butuh waktu lama bagiku untuk menancapkan kata-kata itu ke hatiku. “Kau piker semudah itu aku memilih? 21 tahun aku hidup, 21 tahun aku menantinya. Dan ketika aku mendapatkannya, haruskah aku mengorbankan cintaku? Haruskah?” tak seperti sebelumnya, nada suaraku meninggi. Aku benar-benar tak bisa menahan luapan emosiku saat ini. “21 tahun aku menunggu saat aku bisa melukis wajahnya, 21 tahun aku berlatih untuk memanggil ayah, 21 tahun aku merangkai kata-kata agar saat di depannya nanti, aku bisa menceritakan kehidupanku padanya. Tapi kenapa saat kesempatan itu ada, cinta harus dating dalam hidupku? ” tanganku mengepal erat. Kurasakan tetes air bening mampu menerobos pertahananku.  Sedangkan Hyena hanya bungkam, bentakan yang sedari tadi mmenghias bibirnya, kin menghilang entah kemana. “Katakan padaku, jika kau jadi diriku. Kau pilih ayahmu atau cintamu?”

*Niall Pov*

Dia cantik. Itulah yang kupikirkan saat aku menemuinya di taman tadi. Tak banyak yang berubah darinya, rambutnya yang pirang bergelombang itu semakin panjang, tubuhnya semakin tinggi, dan parasnya semakin dewasa. “Kau tau letak café nya?” pertanyaan Casandra yang saat itu duduk di samping kemudi, membuatku membuyarkan penilanku padanya. “Tentu saja, aku sering kesana bersama temanku” “Oh, baguslah” kulihat senyumnya, masih menawan seperti dulu. “Kau dari mana saja?” tanyaku sekedar meninggalkan kecanggungan antar kami. “London, aku menjalani masa SMA dan kuliahku di sana. Kenapa? Kau merindukanku?” “Ah, untuk apa” sedikit kupaksakan bibirku untuk mengulas sebuh senyum. Bohong? Enthlah, aku tak tau. Dulu, aku memang meindukannya, tapi sekarang.. “Sayang sekali, padahal aku begitu merindukanmu” lagi, kalimat itu selalu bisa memompa kerja jantungku. “Jangan bercanda Casndra Han,”  “Apa? Siapa yang bercanda? Aku serius Niall. Aku tak tau kan seberapa aku memikirkanmu saat aku di London?” matanya menerawang, seolah mencoba mengingat sesuatu. “Kalau kau memikirkanku, kau tak akan pernah mengakhiri hubungan kita saat semester akhir SMP” kukatakn itu tanpa melihat kearah Casandra. Muak, itulah yang terbesit di otakku saat dia mengatakan ‘memikirkanku’

*Salsabila Devina Pov*

“Katakan padaku, jika kau jadi diriku. Kau pilih ayahmu, atau cintamu?” kulihat dari sudut mataku, Hyena tetap diam. Tak ada jawaban atas semua pertanyaanku. “Kanapa kau diam saja Hyena? Tak bisakah kau membantuku menentukan pilihan?”  air mataku semakin deras, bingung dan takut mencekamku disaat yang bersamaan. Hyena menarikku kepelukannya, mengelus puncak rambutku perlahan. “Menangislah jika itu bisa membuatmu lebih baik” bisiknya lembut diteingaku. Aku tau, dia melkukan ini Karen tak bisa memberi jawaban atas pertanyaanku. “Menurutmu, apa Tuhan tak terlalu kejam kepadaku?” “Salsabila Devina, jangan bicara seperti itu!” “Dilahirkan sebgai anak haram, dibuang oleh ibuku sendiri, tak pernah tau bentuk ayahku, merasakan kegelapan dunia padahal ada banyak cahaya, dan sekarang aku harus melepaskan cinta pertamaku setelah bertahun-tahun, tidakkah..” aku menggantungkan kaliomtaku, nafasku sesenggukan tak mampu meneruskannya. “Tidakkah kau berpikir Tuhan terlalu tak adil padaku? Kau bisa mendapatkan kebahagiaan, sedangkan aku hanya mandapat penderitaan” lanjutku, “Ibumu tak membuangmu, dia menitipkanmu” ada penekanan pada kata ‘menitipkanmu’ dan itu justru membuatku tersenyum hambar. “Dia tak pernah ingin tau keadaanku setelah menitipkanku” Hyena mnedengus kesal mendengar jawabanku. Dia tau, dia tak akan pernah bisa merubah pikiran negative ku tentang wanita itu. Terjadi jeda cukup lama natar kami, dan kuputuskan untuk menggak coklat hangatku. Pikiranku jauh lebih tenang dai pda tadi, meskipun ras bimbang masih setia menemaniku. “Aku lapar. Bisakah kau suruh pegawaimu untuk menyiapkan masakan enak untukku?” “Tentu, sesaui permintaanmu Tuan putri,” cibir Hyena lalu pergi meninggsalkanku.
Kumainkan ponselku sambil menunggu Hyena kembali. Aku tak ingin kesendirian membuat pilihan-pilihan sialan itu kembali memenuhi otakku. Simple, keinginanku hanya satu, tenang. “Vina?”  panggilan itu membuatku mendongak sebentar, melupakan sejenak game di ponselku.  Casandra Han, hatiku memkik keras ketika mendapati sosoknya sudah berdiri di depanku. Dia sudah kembali dan itu berarti.. waktuku semakin dekat. Aku harus melepas yang mana Tuhan? “Ah benar kau. Ibu bilang kau menghilang 2 hari, dan kemarin aku coba menghubungimu, ponselmu juga tak aktif”Csandra terus berceloteh di depanku. Sebenarnya aku dan Casandra cukup dekat, ketika dia di London, aku dan dia sering mengirimi e-mail sekedar untuk menanyakan keadaan. “Apa yang kau lakukan disini?” lanjutnya. “ini café, mau palagi kalau tak makan” aku menpuk-nepuk kursi disampingku, menyuruhnya untuk duduk. “Sendiri?” tanyaku. “Tidak, aku bersama… ah itu dia” Casandra melambaikan tangannya kearah pintu masuk, sedangkan aku lebih memilih menyesap coklat hangatku dari pada memperdulikannya. “Vina, ini temanku Niall…” nama itu, nama yang disebutnya membuatku mendongak, berharap hal yang kutakuti tak menjadi nyata saat ini. “Niall James Horan” lanjutnya yang langsung memathkan harapanku. Detik itu juga mataku menangkap kebersamaan mereka. Mataku memanas ketika melihat lengan Casandra bergelanyut manja di lengan si bodoh itu, senyum sumringah menghias bibir tipi Casndra, sedangkan laki-laki itu hanya menatp bingung kearahku. “Kau..” “Aku Slasabila Devina,” potongku cepat saat laki-laki itu membuka suara, aku tak ingin Casandra tau jika aku mengenalnya.
Casandra kembali duduk, kedua lengannya masih bergelantung indah di lengan Niall, laki-laki itu tak berniat melepasnya. Justru mungkin ingin mempereratnya. Oh Tuhan, aku tak bisa bertahan lebih lama lagi.

*Niall Pov*

“Aku Salsabila Devina” mataku membelalak lebar ketika dia memotong kalimatku. Yang benar saja, untuk apa di memperkenalkan diri, padahal aku jelas sangat mengenalnya. “Vina ini adikku” aku semakin mengerutkan dahiku. Kualihkan pandanganku pada Bila yang ada di depanku, benrakah? Benarkah kau adiknya? Tapi kenapa kau tak pernah bercerita padaku, gadis tengil?
Cukup lama aku menatapnya, tapi gadis itu terus saja menunduk. “Devina, ini wafflemu” Hyena dating, memecah keheningan antara kami bertiga. Kedua tangannya membawa 2 wafle, mungkin untuknya dan Bila. “Oh ada kalian” aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya, tapi gadis itu segera memberi senyuman pada kami berdua. “Aku tak lapar lagi Hyena, aku pergi dulu” dia beranjak dari tempatnya duduk, wajahnya terlihat ssendu. “Yak, salsabila devina! Mau kemana kau? Jangan menghilang lagi” hyena berteriak cukup keras, tapi gadis itu tak membalik badannya sedikitpun, dia terus berjalan hingga akhirnya sosoknya menghilang dibalik kerumunan. ‘Sial, aku bahkan tak sempat bertanya keman adia 2 hari ini’ umpatku dalam hati. Aku beranjak dari tempatku duduk, berniat mengejar gadis tengil itu, tapi tangan lembut yang sedari tadi bergelanyut manja di lenganku menahanku. “Mau kamana Niall? Kau sudah berjanji menemaniku makan siang” aku menunduk, manikku bertemu dengan maniknya yang menatapku memohon. Kududukkan kembali tubuhku, aku tak tega meninggalkannya, bagimanapun dia tetap cinta pertamaku.

***

Kupandangi ponselku berkali-kali. Kuketuk-ketukkan jariku diatas  meja. Tatpanku tak luput dari ponselku. Aku sudah menghubungi nomor gadis tengil itu, tapi tak satupun telfonku diangkatnya, begitu juga pesanku, taka da satupun yang dia balas. Aku mengerang frustasi. Sebenarnya pa salahku hingga dia menjauhiku? Aku hanya ingin bertanya keberadaanya, aku hanya ingin tau keadaannya, dan sekarang dia justru mengabaikanku. “Kau kenapa Salsabila devina? Gadis tengilku, kau kenapa?” teriakku hamper gila. Aku tak bisa bertahan dengan sifatnya yang sekarang, ini bukan Bila yang kukenal. Bila yang kukenal, sekalipun dia punya msalah dia akan memintaku untuuk menemaninya. Bila yang kukenal, sekalipun dia marah padaku, dia akan tetap mengangkat telefonku. Tapi ada apa dengannya sekarang? Setan macam apa yang mengubahnya hanya dalam hitungan hari?

*Salsabila devina pov*

Kucengkarm erat boneka beruang pemberian si bodoh itu. Hatiku terasa sangat ngilu ketika Casandra mnceritakan pertemuannya kembali dengan cinta pertamanya. Bisa kulihat pancaran sinar di matanya, dan aku tak terlalu bodoh untuk tau jika gadis itu tengah jatuh cinta. “Dia semakin tampan” entah sudah berapa kali gadis itu memuji Niall. Aku menghela nafas berat, sudah 2 jam sejak gadis itu pulang, dan dia terus mencekokiku dengan kalimat-kalimat kebahgiannya yang justru menusuk hatiku. “Dia masih baik seperti dulu, ” genggamanku semakin erat pada bonekaku, berharap ras terluka dan amarah bisa tersamarkan. “Oh Vina, aku benar-benar menginginkannya” aku tertunduk mendengar kalimatnya, ingin rasanya aku menangis, tapi tak sekarang, tidak saat gadis itu ada di hadapanku. “Dan kurasa dia juga menginginkanku” hatiku terasa tertohok, serasa ada ribuan jarum yang menusukku. “D..da..dari mana kau tau?” kuberanikan diriku untuk bertanya, tak peduli dengan suaraku yang gemetar, aku terlalu emosi mendengar ucapannya. “Hari ini dia menemaniku sepuasnya, dia selalu tersenyum padaku, dan demi Tuhan, dia tampan” aku kembali menundukkan kepalaku semakin dalam, ras terluka ini semakin menyiksaku. Ada apa? Ada apa denganmu Salsabila Devina? Gadis itu cantik, lebih segala-galanya darimu. Bukankah kemungkinan laki-laki itu memilihnya sangat besar? “Aku ingin kekamarku, selamat malam Vina” aku tersenyum seiring kepergiannya. Mata ini semakin  panas dan tetes yang sedari tadi kubendung kin melelh begitu saja. Kubanting ponselku ke sisi ranjang yang lain. “Berhenti, kumohon jangan hubungi aku lagi Niall. Jangan buat pilihan ini semakin sulit”

*Niall pov*

Kutarik dasiku bebrapa kali. Mencoba mengurangi ketegangan, pikirku. Sudah 5 menit aku dan pasangan paruh baya ini duduk berhadapan, tapi tak satupun suaru keluar dari mulut mereka. “sebenarnya apa yang kalian ingin sampaikan?” lancang? Mungkin. Tapi aku hanya ingin memecah kehningan yang mereka ciptakan. “Kau mengnal anak kamikan? Casndra Han” sebenarnya aku tak terlalu suka pertanyaan basa-basi seperti ini. tapi karena mereka lebih berumur dariku, kucoba untuk lebih sopan. “Ya” “Bisakah kau membantu kami?” kunaikkan sebelah alisku. Bingung, itulah yang kurasa saat ini. “Jadilah pacar Casndra” seakan tau dengan kebingunganku, sosok wanita yang kuyakini sebagai ibu Casandra memberi keterangan yang justru menaikkan tingkat kebingunganku. “Kami mohon, kami hanya ingin melihatnya bahagia” “Tapi apakah kalian tidak memikirkan kebahagiaan saya saat mengatkan hal ini?” nadaku meninggi. Aku emosi. “Kami tau kami salah, tapi kami hany ingin Casandra Bahgia, setidaknya sebelum tuhan mengambilnya” “Bukankah setiap orang memang akan di panggil Tuhan?” ada nada mengejek di kalimat terakhirku, tapi seolah tak mendengarnya wanita itu terus meneruskan ucapannya. “Tapi putriku berbeda, dia sakit ginjal” wanita itu menangis, meski aku tau dia membentakku, tapi aku masih bisa merasakan kelembutan dan nada memohon disana.  “Kami hanya ingin dia menjalani cuci darah bersama otrang yang dia cintai” “Penyakit itu bisa disembuhkan” tukasku “Tapi kita tak pernah tau apa yang Tuhan tulis dalam takdirnya,” aku menghembuskan nafas dengan frustasi. Kejutan yang mereka berikan bahkan terlalu mengejutkan. “Kumohon, jadilah kekasih Casndra”

***

“Niall? Kau tak mendengarku ya? ” gadis itu melambai-lambaikan tangannya di depanku. Membuatku tersentak dan hanya bisa tersenyum kikuk menanggapinya. “Apa yang kau pikirkan?” Tanyanya sekali lagi dan aku hanya bisa menggeleng. Tak mungkin aku mengatakn jika aku tengah menebak-nebak apa dia benar-benar sakit ginjal atau ini hanya sebuah permainan. “Taka pa, taka da yang kupikirkan” jawabku sekenanya. “Kau selalu saja bohong” aku hanya tersenyum menanggapi perkataanya. “Niall, tidakkah kau merindukan tempat ini?” gadis itu menebar pandangannya ke tiap sisi taman yang dulu sering kami kunjungi. “Untuk apa aku merindukannya jika kapanpun aku ingin, aku bisa kesini” “Bukan itu maksudku. Tidakkah kau merindukan tempt ini seperti saat kita pacaran dulu?” lagi-lagi tatapan gadis itu menerawang jauh. “Ayolah Casandra, Kenpa kau selalu membahsa hal ini? “Karena aku masih mencintaimu”hening, taka da jawaban apapun dariku. “Aku serius, kau mau memberiku kesempatan kedua? Menjadi kekasihmu?” gadis itu menatapku lekat, tangannya menggenggam jemariku hangat. “Aku tak bisa menjawabmu sekarang” “Taka pa, masih ada hari lain kan?” Casandra memberikan senyum lebar diantar bibir tipisnya, menggandeng tanganku unuk mengikutinya. “Aku ingin makan Ice cream seperti dulu” lirihnya yang justru membuat jantungku berdebar pelan. Oh Tuhan, benarkah dia sakit ginjal? Benarkah aku harus disampingnya untuk mempertahankan senyum manisnya?

*Salsabila Devina pov*

Aku sudah menghabiskan 5 piring waffle dan 3 burger sore ini. pikiranku masih kacau, hatiku masih terluka dan bimbang, jadi kuputuskan makan sebanyak mungkin untuk menghilangkannya, biasanya cara ini ampuh. “Tak usah menatapku seperti itu, dompetku mampu membayar makananmu” candaku ketika kulihat Hyena menatapku terpana. “Bukan seperti itu, hanya saja kau terlihat seperti tak makan berhari-hari” tukasnya yang membuatku tertawa. “Dimana otakmu Hyean? Kau piker aku bisa bertahan hidup tanpa sesuap makanan?” “Mana aku tau” jawabnya sambil mengdikkan bahu. “Bgaimana pilihanmu? Kau udah menentukannya?” lanjutnya yang hanya kujawab gelengan. “Seberat itu?” tanyanya lagidan kali ini aku mengangguk,”2 laki-laki itu sama berartinya bagiku”
Aku bangkit dari tempatku, memberi sejumlah uang pada Hyena lalu beranjak meninggalkannya. “Mau kemana?” teriaknya, entah kenapa akhir-akhir ini dia senang berteriak seolah tak peduli dengan pelanggannya. “Melukis, mau ikut?” “aku masih cukup waras untuk kau jadikan kacang nona” jawabnya keras seolah tak ingin aku melewatkan satu katapun. Aku terkekh geli, masih kuingat dengan jelas saat pertama kali sekaligus terakhir kali hyena ikut aku mellukis. Dan aku yakin, dia tak akn menginginkannya lagi.

***

Langkahku memelan ketika kudapati sosok yang tengah duduk di kursi yang biasanya kutempati. Matanya terpejam, mungkin dia tertidur, jadi kuberanikan diriku untuk mengamtinya lebih dekat lagi. Telunjukku terulur menyentuh fdahinya yang berkerut seakan mengalami mimpi buruk, kuusap beberap keringat dingin yang ada di sana. Jariku turun kematanya, aku bahakan baru menyadari  jika dia memilki mata yang indah. Telunjukku beralih pada hidungnya, lalu turun ke bibirnya. Tak sadar, tiba-tiba tetes air mataku terjatuh, disusul tetes berikutnya. Kualihkan pandanganku, kubalik badanku membelkanginya dan hendak meninggalkannya. “Mau kemana?” pertanyaan itu membuatku menghentikan langkahku. “Sudah tertangkap basah menyentuh wajahku, sekarang kau mau lari begitu saja, dasar gadis tengil” “Aku tak menyentuhmu” teriakku tanpa merubah posisiku sedikitpun. “Jangan bohong” seiring kata terakhirnya kurasakan lengannya membalikku tiba-tiba. “Hei, kau menangis?” terasa nyaman dan hangat ketika tangannya menyentuh  pipiku, mengusap air mataku lembut. “Kenapa? Apa ada yang melukaimu?” kugelengkan kepalaku pelan. Kumohon jangan seperti ini Niall, jangan membuat semua ini semakin sulit. Kubuang tangannya dari wajahku, meneruskan langkahku untuk meninggalkannya. Tapi jemarinya menarik lenganku, merengkuh tubuh mungilku dalam dekapannya. “Kenapa kau mengindariku?” tangannya mengcup puncak kepalaku pelan, dari sini bisa kucium aroma tubuhnya yang memabukkan. “Hanya perasaanmu saja” jawabku mencoba setenang mungkin, aku tak ingin dia tau jika jantungku berdebar sangat keras saat ini. “Banarkah?” aku tau dia tak bertanya padaku. Dia hanya memintaku untuk mengaku, dan akhirnya dia akan bertanya alasanku. Sedangkan aku tak mungkin menceritakan semua itu padanya. “Ya, bodoh” teriakku sambil mencoba melepaskan diri darinya. “Kumohon, biarkan seperti ini. 10 menit saja.. Kumohon Bila” kuarsakan dekapannya semakin erat. “Apa yang harus kulakukan?” Niall menyandarkan kepalnya di bahuku, sedangkan tangannya tak berhenti mengelus kepalaku. “Orang tua Casandra memintaku untuk menjaadi kekasihnya dengan alas an Casandra sakit ginjal” aku menghela nafas paanjang. Bukan hanya aku? Niall, mereka juga m,emintanya dari Niall? “Dan tadi Casandra mengatakn perasaanya padaku. Aku.. belum menjawabnya”  tearasa ditusuk, kuaraskan jantungku melemah. Kulepaskan pelukan kami, kuatatp wajahnya lekat tepat di maniknya. “Niall James Horan, kau masih mencintainya?” butuh perjuangan keras agar kalimat itu lolos dari mulutku.
1 menit.. 2 menit.. 3 menit..
Laki-laki itu belum menjawab pertanyaanku. Aku berjalan mundur, ada senyum pahit di bibirku, juga luka baru di hatiku. Kebalikkan badanku, kali ini dia tak menhanku lagi dan itu justru melukaiku.  Selangkah.. 2 langkah.. 3 langkah.. 5 langkah.. 8 langkah.. 10 lang.. “Kau tak ingin menahanku?” tanyanya sedikit berteriak, membuatku mau tak mau membalikkan badanku. “Punya hak apa aku untuk menahanmu?”

*Niall Pov*
“Punya hak apa aku untuk menahanmu?” kalimat itu terdengar seperti ejekan dan kemarahan disaat yang bersamaan. Ya, kami berdua memang tak pernah tau apa sebenarnya hubungan kami. Aku dan Bila memang dekat, aku mencintainya dan kurasa dia juga begitu. Tapi, selama 5 tahun kami bersama, belum ada kata yang keluar dari mulutku untuk mengikatnya. Kutundukkan kepalku dalam, matku tak sanggup menangkap kepergiannya.

*Salsabila Devina Pov*

Ini 2 hari semenjak aku bertemu dengan si bodoh itu. Saat ini aku berada di taxi menuju alamat yang ibu Csandrta berikan padaku. Jujur, ragaku memang berada di Indonesia. Tapi pikiranku jauh melayang ke Irlandia. Hari ini 13 september, entah karena kebetulan atau takdir, ultahku dan laki-laki itu sama. “Kira-kira apa yang mereka lakukan disana?” otakku mulai menerka-nerka, membuat setetes air bening meluncur dari mataku.  Aku masih ingat betul bagaimana ras terlukaku ketika sehari lalu Csandra meminta saranku terhadap hadiah yang akan dia berikan pada Niall. .kubayangkan pula makan malam romantic mereka yang akan ditutup permainan piano seperti apa yang Casandra katakana. Ah, sungguh sempurna itu mengoyak hatiku. Kuhapus air mataku saat kurasa taxi yang kunaiki berhenti.

***

Sebuah rumah mungil namun terlihat teduh menyambuit langkahku. Kuketuk perlahan pintu kayunya dan muncullah seorang wanita paruhbaya dari belakangnya. “Maaf, benar ini kediaman tuan Jeffri?” wanita itu terdiam menatapku, bahasa yang kami gunakan jelas berbeda. Wanita itu menghilang dari hadapanku, dan sedetik kemudian dia kembali bersama seoran laki-laki yang umurnya 5-6 tahun di bawahku. “Maaf, anda mencari siapa nona?” kali ini laki-laki itu berbicara dengan bahasa yang sama sepertiku. “Tuan Jeffri, benar ini kediamannya?” “Ah, Ayah, silahkan masuk” aku mengikutinya masuk, lalu duduk di sebuah ruang tamu yang bernuansa hangat ini. “Maaf, sebenarnya anda siapa?” “Aku.. mungkin sedikit mengejutkan. Tapi aku.. sebenarnya.. anak tuan Jeffri” jantungku berdegup kencang, tak bisa bersiap menerima apapun reaksi mereka. “Ah, kakak” laki-laki itu menjabat tanganku erat, dungguh bukan ekspresi yang kubayangkan sebelumnya.  “Bertahun-tahun ayah mencarimu dan sekarang kau dating dengan sendirinya” oh Tuhan, aku serasa melayang. Ayahku, meskipun aku anak haram, tapi dia tetap mencariku. Dia.. menginginkanku. “Benarkah, sekarang ayah dimana? Bisakah aku bertemu dengannya?” “Ayah..”

*Niall Pov*

Aku masih menatapnya, dia sama sekali tak mirip dengan gadis tengilku. Tapi kenapa sedari tadi bayang wajahnya  terlihat seperti wajah Bila? Gadis tengil itu, apa yang dilakukannya malam ini? biasanya kami selalu berjalan mengelilingi kota bersama, makan makanan pinggir jalan, dan teerakhir pergi ketaman. Biasanya aku sekedar menemaninya melukis, tapi tak jarang pula aku menjadi objek lukisannya. Kuhela nafas panjang, dua hari tak bertemu denganny aku merindukannya.

*Slasabila Devina Pov*

Aku masih mencoba berdiri, berjalan menuju kamarku yang berada di lantai 2. Hatiku masih sakit ketika aku ingat jelas perkataan Rian-laki-laki yang kutemui di Indonesia-“Ayah.. kau tak bisa bertemu ayah lagi. Ayah mengidap jantung coroner, penyakit jantung yang bisa kambuh tiba-tiba. Setahun yang lalu,ayah mendapat kabar jika kau ditemukan di panti asuhan London. Dia begitu senang hingga tak tidur dan mengurus semua keperluan agar secepatnya bisa pergi kesana. Dia terlalu untuk mencari pinjaman uang untuk membeli tiket. Dan tiba-tiba 2 jam sebelumkeberangkatannya dia meninggal” masih kuingat jelas semua kalimatnya, dan itu sukses membuat pertahananku hancur berkeping-keping.
Persaan ini tak kunjung membaik, meski sudah satu minggu aku tinggal di Indonesia, tapi sepertinya tangis ini tak bisa memperbaiki segalanya.

*Niall Pov*

Aku masih terpaku tak percaya melihat sosoknya berdiri di hadapanku setelah 9 hari dia menghilang. “Vina, kau pulang”Casandra memekik bahagia, sedangkan gadis yang diajaknya bicara mengangguk lemah. Bila melangkah tertatih, wajahnya pucat dan sedetik kemudian tubuhnya ambruk. “Yak, salsabila Devina!” teraikku.

***

Aku masih menatapi tubuh lemahnya. Sudah satu hari penuh aku menungguinya disini, namun taka da respek darinya sedikitpun. Gadis itu membeku, tatapannya kosong kelangit-langit, sepertinya taka da niatan darinya untuk berbicara padaku. “Sejak kemarin kau tak makan, makanlah, kumohon” kusodorkan sesendok bubur kehadapannya, tapi gadis itu hany terdiam. “Heh gadis tengil, sudah sakit maag, tapi tak mau makan. Kau ingin mati sekarang huh?” kuletakkan kembali sendok itu, aku kesal padanya. “Sudah kubilangkan jangan lupa makan, jangan telat tidur, dan istirahat yang cukup. Tapi kau malah mengabaikannya” gadis itu tak menjawabku dengan  kata-kata, tapi dengan sebuah pelukan. “Aku bodoh! Aku bodoh Niall! Aku merelakanmu demi bertemu ayahku, tapi aku bahkan tak bisa melihat wajahnya” kuelus puncak kepalnya pelan, aku tak mau dia menangis seperti ini. Ini.. melukaiku

*Casandra Pov*

Aku bisa merasakan perubahan jelas pada diri Vina. Aku tak bisa lagi melihat senyumnya, hanya luka yang terukir jelas di wajahnya. Setiap aku menjawab apa alasannya, dia akan menjawab itu karena dia tak bisa bertemu dengan ayahnya. Tapi aku tau jelas jika wajahnya, wajah itu terpasang semenjak aku bertemu dengannya 1 bulan yang lalu.
Kuhentakkan langkahku, kubuka kenop pintu yang aku tau itu adalah ruangan tempat menyimpan lukisan-lukisan Vina. Mataku berbinar ketika mendapati semua lukisan itu, indah dan hebat, hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Berbagai gaya ada disini, dari mulai naturalism, hingga surealisme. Pandanganku tertarik pada sebuah lukisan di susut ruangan ini. lukisan itu tertutup kain putih dan ukurannya tak terlalu besar.perlahan tanganku membukanya, mataku memebelalak lebar, Oh Tuhan, benrakah? Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku baru menyadarinya? Casandra han, kaubenar-benar bodoh!

*Salsabila Devina Pov*

Aku menghela nafas panjang, hari ini mereka bertunangan. Sangat cepat, seperti permintaan orang tua Csandra, semakin cepat semakin baik. Sekarang aku duduk di taman, tak berniat untuk dating, karena aku tau aku akan semakin trluka. “Oh Vina, aku mencarimu kemana-mana” Casndra duduk disampingku, memegangi dadanya yang naik turun. “Kau tak bertunangan?” “Tuanangan apa maksudmu? Mana bisa bertunangan jika calon perempuannya tak ada” “Kalau begitu kembalilah” jawabku ketus, “Taka da gunanya jika aku kembali, kau yang harus datang” aku terdiam, tak bisa mencerna kata-katanya. “Yak bodoh, kau mau membuat Niall menunggu berapa lama lagi?!” Casandra menarik lenganku cepat ke mobilnya. “Tunggu, kau bilang apa? Kau sudah tau semuanya?” gadis itu hany menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan.  “Bagiamana bisa? Apa si bodoh itu yang bilang segalanya?” “Tidak, lukisanmu yang menceritakan segalanya, dan matamu yang membenarkannya” lagi-lagi aku terdiam, bingung. “Aku melihat lukisanmu, kau banyak melukis Niall. Wakti itu, aku juga melihatmu berpelukan dengan niall, kalian sangat mesra” “Casandra.. maaf” “taka pa, harusnya aku yang minta maaf. Maaf aku telah memisahkan kalian berdua, membuat Niall terpaksa menerima kehadiranku, juga karena ibuku membuat pilihan yang sulit untukmu” gadis itu menhela nafas panjang. Bisa kulihat jika dia terluka, jika dia juga tak bisa menerima kenyataan jika aku dan Niall saling mencintai, bahwa dia harus menyerahkan Niall padaku. “Oh ayolah, kita temui pangeranmu”

***
Aku merasa aneh ketika puluhan orang menatapku, aku tak terbiasa menjadi tokoh utama, apalagi di pesta semewah ini. laki-laki itu menautkan cincin jariku, kepalnya sedikit  menunduk agar sejajar dengan telingaku. “Aku tak akan pernah membiarkanmu meilih orang lain selain aku lagi” aku tersenyum mendengar perkataanya, Niall memelukku erat.  “Aku mencintaimu “ 1 kalimat yang begitu kutunggu selama 5 tahun ini, akhirnya terucap juga. “Aku juga mencintaimu” balasku, membuatku dapat menemukan senyum manisnya. Laki-laki itu mengcup dahiku, kecupan yang membuatku merasakn cinta pada setiap persentuhan kami. Oh Tuhan, hari ini dia mengecupku dengan ikatan pertunangan,tapi suatu hari nanti dia akan menegcupku dengan ikatan pernikahan.

-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar