Kamis, 18 Oktober 2012

cerpen "SEPI"





Sepi

Rintik demi rintik menyelusup keluar dari sela-sela cakrawala, membasahi bumi juga kebejatannya, seolah menemani hati seorang gadis yang sedang gundah gulana. Dia tengah termenung memandang langit biru dan awan yang begitu membosankan dari balik jendela kamarnya. Gadis itu lalu menarik tatapannya, kepala mungilnya disembunyikan dibalik lutut. Mukanya yang manis ditekuk seolah menyimpan kesedihan tiada tara. Tuhan seakan mencabut akar-akar senyuman dari wajahnya, menanam pohon luka dalam kehidupannya. Ya, masa-masa kelam Gina dimulai ketika gadis itu menginjak usia 8 tahun, suatu usia yang seharusnya menjadi masa kebahagiaan, tapi berubah menjadi masa kehancuran. Pertengkaran kedua orangtuanya yang berlarut-larut berujung pada perceraian. Keegoisan orangtuanya makin memberikan tamparan keras dalam kehidupan Gina. Dia tak bisa lagi hidup tentram, tiap minggu dia harus pindah dari 1 atap ke atap lainnya. Hanya demi memuaskan hasrat kedua orangtuanya yang tak ingin tinggal jauh dengannya. Tapi nyatanya, ketika dia mulai mengetuk sebuah pintu rumah, lalu tinggal didalamnya ia tak mendapat kasih sayang yang dia harapkan, hanya kesendirian.
                Gina. Gadis mungil nan lemah itu mulai mengangkat kepalanya, menatap kosong dunia luar lewat jendelanya. Dunia luar yang penuh dengan kebahagiaan dan mimpi-mimpi yang sempat dia miliki. Terlihat jelas rasa terlukanya lewat sepasang mata yang terlihat sembab. Gadis itu mulai beranjak dari tempat tidurnya, memutar gagang pintu yang seharian ini tak dia sentuh. Sepi. Hanya sepi yang dia temukan. Gadis itu terus berjalan ke dapur, mengambil segelas air putih lalu meneguknya perlahan, sepasang manik matanya menangkap foto pasangan yang terbingkai rapi didinding. Itu foto Ibu dan Ayah tirinya yang menikah 4 tahun lalu, yang membuat Gina  makin tersisihkan. Banyak yang mengatakan Gina beruntung memiliki 2 Ayah, tapi mereka salah. 2 Ayah bukan berarti perhatiannya bertambah, tapi yang bertambah adalah perasaan tersayat dihatinya, karna tak ada satupun perhatian yang ditujukan untuknya.
                Pagi ini sama seperti pagi-pagi kemarin, begitu membosankan. Gina hanya terbaring di ranjangnya, menatap lekat rerintik hujan yang slalu menemani hari-harinya. Entah kenapa, tiba-tiba gadis itu merasakan jantungnya begitu sakit, nafasnya sesak, keringat dingin bercucuran, badannya lemas sehingga untuk merintih begitu susah. “ahh..” rintih Gina sekuat tenaga, membuat seorang wanita tua berlari menghampirinya. “Mbak kenapa? Sakit? Kita kerumah sakit yaa?” tawar wanita itu, tapi Gina menolaknya. “Telfon Ibu bik, dia yang akan mengantarkanku” ucapnya disela-sela rasa sakit. Wanita tua itu langsung mendekati telepon yang terbaring diatas meja, diangkatnya gagang telefon. Seorang wanita 30 tahun di seberang sana mengangkatnya. “Bu mbak sakit, dia minta Ibu mengantarkannya”. “Saya sibuk bik, Bibi saja yang mengantarkannya”. Tut..tut..tut.. saluran itu terputus, dengan ragu wanita itu mendekati Gina yang terus menahan sakit. “Mbak Ibu sedang sibuk, mending berangkat sama Bibi saja” jelasnya tak tega. “Telfon ayahku bi, dia pasti mau” pintanya. Lagi-lagi wanita tua itu menelfon seseorang yang dipanggil Gina dengan sebutan Ayah, “Mbak Gina sakit parah pak. Minta diantar ke rumah sakit” kata wanita itu. “Suruh saja Ibunya yang mengantar, saya tidak bisa” ujarnya santai, yang membuat Gina terpaksa pergi bersama pembantunya. 
                Belum cukup rasa sakit dihatinya yang terus menerus diukir kedua orangtuanya, apalagi mereka tadi telah menolak untuk mengantarkan Gina, hanya karna sebuah pekerjaan. Kini dia harus menelan kenyataan pahit lainnya, jantung bocor, itu penyakit yang diidap Gina. Penyakit mematikan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
                Waktu terus berlalu, sebenarnya Gina sadar jantungnya semakin memburuk dan bisa saja dia tiba-tiba mati. Ya, setahun sudah menyembunyikan penyakitnya, hingga suatu hari jantungnya terasa sakit, dan dia merasa waktunya tak terlalu lama lagi. “Aku ingin pergi ke taman hiburan. Aku mohon kali ini saja temani aku, buktikan jika aku berharga dalam hidup kalian” pinta Gina pada 3 orangtuanya dan mereka semua mengangguk setuju. Hari yang ditunggu telah tiba, Gina berangkat lebih awal dengan menggunakan taksi. Dia menunggu ke-3 orangtuanya di depan pintu masuk seperti kesepakatan awal. Gadis itu menebar senyumnya.
                2 jam berlalu.. tapi tak ada satupun dari mereka yang datang, gadis itu masih tetap menunggu. Berdiri dengan kaki yang sudah hampir lemas, tapi senyum itu masih disana, senyum manis yang menghilang sejak umurnya 8 tahun.
                5 jam berlalu.. namun batang hidung mereka belum terlihat, Gina merasa sedikit sakit di jantungnya, tapi dia tak mau pergi, dia yakin mereka akan datang. Tapi hingga malam, hingga taman hiburan iu hampir sepi, tak ada satupun dari mereka yang datang, mereka tak menepati janjinya. Gina pulang dengan sebonggol luka, kecewa, dan rasa sakit di jantungnya yang begitu parah, jauh lebih parah dari apa yang pernah dia rasakan.
                Rumah begitu sepi, Gina benar-benar merasa kesepian. Hanya sakit dijantungnya yang menemaninya, benar-benar sakit. Dia menggulung-gulungkan badannya, bahkan sampai menangis menahan sakit. Gadis mungil itu benar-benar merasa lelah, tapi dia tetap melakukan sesuatu yang dianggap penting. Dia melakukannya, hingga dia benar-benar melepas lelahnya untuk selamanya.
                Ketika pagi mulai menyapa, hujan air mata mulai datang. Ayah Gina menangis tak terkendali setelah menemukan tubuh Gina dingin tak bernyawa, begitu juga dengan Ibu dan Ayah tirinya yang histeris setelah mendengar kabar tersebut. Hanya sebuah surat yang dia peluk ketika pergi, itulah yang dia anggap penting.

 Untuk kalian,

Ayah, Ibu, dan Ayah

Ini malam yang indah bukan? Tadinya Gina mengajak kalian ke taman hiburan untuk mengatakan sesuatu, tapi sepertinya kalian terlalu sibuk. Mungkin bekerja adalah perioritas hidup kalian, bukan aku.
Sebenarnya setahun ini, Gina  mengidap jantung bocor. Maafkan Gina karna tak mengatakannya terlebih dahulu, tapi ini semua karna Gina ingin kalian menyadari sendiri. Gina merasa kesepian dan marah pada kalian. Semenjak perceraian 7 tahun lalu Ayah dan Ibu semakin tak akur, aku kalian lupakan. Aku seperti tak pernah kalian anggap.
Ketika Ibu memutuskan menikah lagi, aku pikir aku akan bahagia karna akan ada yang menyanyangiku, tapi aku salah! Ayah baruku ini juga sama sibuknya seperti kalian.
Ayah, Ibu, dan Ayahku. Jujurlah, seberapa pentingnya aku bagi hidup kalian? Apakah tak berharga? Kenapa disaat aku merasa membutuhkan kalian dimasa terakirku, kalin malah tak ada! Kemana? Hanya sebuah taman hiburan! Tapi kalian malah mementingkan pekerjaan! Itu masa-masa terakhirku! Aku tak menginginkan apapun, hanya senyum yang kuinginkan, dan itu karna kalian. Tapi kalian malah tak datang.
Kini saatnya aku untuk pergi, tak akan kembali. Aku harap kalian bahagia tanpaku.





Sekarang tak ada lagi yang tersisa, hanya penyesalan tak berujung. Surat pendek berbalut air mata yang menjadi saksi bisu penderitaan Gina.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar