Rabu, 02 Desember 2015

FF The Day When I Comeback

Tittle      : The Day When I Comeback
Author   : JewelAMD
Genre     : Friendship, romance (?)
Cast       : Choi Siwon, Han Min Rin, ELF, Super Junior
Rating    : PG 13
Length    : Oneshot

Happy Reading!

***

Aku diantar dengan limpahan bingkisan, janji untuk ditunggu, dan kata-kata akan rindu. Namun ketika aku kembali, aku kehilangan semua itu.

Sempat kutanyakan pada Kyuhyun apakah aku pergi terlalu lama, dan pria itu hanya menggeleng sambil berkata bahwa dunia telah berubah. Mulanya, kupikir berita itu hanya lelucon, sebuah april mop yang datang lebih awal. Namun ketika kupandangi wajah Kyuhyun dengan cermat, saat itulah kutahu bahwa ‘keseriusan’ akan segera menyergapku.
Sialan. Aku mengumpat hari itu, lima kali. Aku bahkan menghitungnya agar tak terlalu peduli pada apa yang manajer katakan, tapi tak banyak membantu. Tujuh puluh persen dari apa yang ia sampaikan begitu mudah kupahami, bahwa kami tak akan bekerja sama lagi. Kami telah dipecat, oleh dunia, oleh orang-orang yang dulu menyukai kami.
Kami sudah terlalu tua, tak enerjik lagi kata mereka. Banyak pendatang baru yang masih muda, dan berpenampilan lebih menarik. Mungkin itulah alasan mereka meninggalkan kami. Kami dipecat, sekali lagi kuingatkan agar kalian tahu jika publik figur pada akhirnya juga akan dicampakan.
“Kapan kami akan melakukan stage terakhir?”
“Bukankah kalian sudah melakukannya? Satu bulan yang lalu”
Keparat. Aku baru kembali empat hari lalu, Eunhyuk dan Donghae dua minggu yang lalu. Ryeowook bahkan masih melakukan militernya. Kami tak akan pernah merasakan panggung terakhir kami.
“Tapi, tidak adakah sesuatu seperti panggung perpisahan? Kami akan memberi pengumuman resmi dan berterimakasih pada ELF”
“Aku sudah mengusulkan pada Tuan Kim, tapi dia bilang–”
“Tidak ada dana?”
“Y..Ya, aku sudah mendesak mereka, percayalah. Tapi Tuan Kim bilang akan banyak dana yang dikeluarkan, terlalu banyak reporter yang akan menyorot. Jadi mereka putuskan agar pihak SM yang melakukan pengumuman”
Kami banyak mendesah hari itu, sedikit kecewa tapi tak bisa menyalahkan. Bagaimanapun mereka harus berpikir selayaknya pengusaha, memperhitungkan dengan teliti antara untung dan rugi. Sebab mereka bukan kami, idol yang memikirkan bagaimana perasaan fansnya.
Akhirnya dengan dana pribadi, kami menciptakan sebuah show sederhana. Jumat pagi Leeteuk hyung dan aku pergi menemui Ryeowook, sehati-hati mungkin kami mencoba mneyampaikan berita duka ini –bagi seorang penyanyi seperti kami, ketika microphone dan panggung telah dirampas, itu artinya kami telah mati. Yah. Mati.
Kami singgah disana selam satu jam, membuat beberapa video dengan entah berapa kali take agar nanti ketika kami show, ELF dapat merasakan kehadiran kami semua, lima belas pria yang telah mereka lindungi setelah sekian lama. Ketika kami mengambil beberapa menit untuk beristirahat, Leeteuk hyung memulai acara nostalgia yang bisa kutebak akan berakhir melankolis. Leeteuk hyung menangis, disusul Ryeowook, kemudian aku menjadi orang terakhir yang mampu bertahan. Aku tak mengatakan kami lemah, karena seorang lelaki pun akan mengeluarkan air mata ketika kehilangan sesuatu yang begitu berharga –ELF dan panggung kami.
Show berlangsung pada Minggu malam, dua hari sesudahnya. Informasi sudah disebar sejak jumat malam, tertulis jelas khusus untuk ELF tanpa pungutan biaya. Kami sengaja hanya mengundang Tuan Kim dan Tuan Lee sebagai ucapan terimakasih karena telah membesarkan kami, selebihnya hanya ELF tanpa reporter. Kami hanya ingin acara berlangung tenang dan terkesan hangat, sebab ini akan menjadi yang terakhir bagi kami. Pukul tujuh tepat kami menaiki panggung, jantungku serasa marathon. Aku tak pernah seberdebar ini sebelumnya, kecuali pada hari kami debut. Dan sekarang terulang lagi. ELF berteriak keras, mereka cukup banyak meskipun tidak sebanyak yang kami ekspektasikan. Sambil meneriakkan sesuatu yang tak bisa kudengar jelas mereka menggoyangkan lighstick biru, dan sialan, aku begitu menyukai pemandangan ini.
“Sampai kapan kau mau diam begitu saja? cepat angkat pantatmu dan cari istri sana!” Oh, ibu mengomel lagi. Dengan tergesa aku menyuapkan sendok terakhir, kemudian menyambar jaket yang kusampirkan pada sandaran kursi demi terlepas dari nasehat paginya. “Serius Choi Siwon, berapa umurmu tahun ini?”
“34, kurasa”
“Ya! Sudah setua itu dan pagi begini kau masih menangisi fans mu? Berhentilah bertindak menyedihkan dan pergi carikan aku calon menantu, apa kau ingin aku mati tanpa bisa menggendong anakmu?”
Aku tidak menangis, meskipun sebenarnya mereka adalah orang yang pantas untuk ditangisi. Sudah terlalu lama, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencoba menerima segalanya. Mungkin pada awalnya memang terasa sulit melepas popularitas yang kudapat selama ini, memperkenalkan diri sebagai ‘Choi Siwon’ tanpa embel-embel Super Junior merupakan hal terberat yang harus kuatasi pada beberapa bulan pertama. Tapi aku tak pernah merasa kecewa atau menyalahkan mereka atas perubahan hati yang mereka alami. Pada show terakhir kami dua tahun lalu, Tuan Lee mengatakan jika semua yang hidup itu memiliki masa masing-masing, dan 12 tahun adalah sebauh masa yang lama bagi orang seperti kami berlima belas untuk meniti karir. Oh. Sialan. Selama itu.
“Kemarin Ibu baru saja bertemu teman SMP Ibu, dia memiliki anak yang cantik. Usianya hanya lima tahun dibawahmu, aku yakin kau akan menyukainya”
“Sudah kukatakan kemarin adalah yang terakhir. Aku tak ingin mendatangi acara seperti itu lagi”
“Ya! Kau harus mendatanginya, jika tidak aku akan mendaftarkanmu pada biro jodoh”
“Jangan bertindak yang aneh-aneh, eomma. Aku harus pergi”
***
“Jadi apa yang membuatmu gelisah pagi ini?”
“Ibuku, dia tidak pernah menyerah melakukan perjodohan, dan itu mulai membuatku tidak nyaman”
“Orang tua memang selalu begitu, hyung. Lagi pula ada benarnya juga, lihat, kau bahkan lebih tua dariku tapi masih sendiri”
Aku hanya diam, karena aku memang tua dan masih sendiri. Selama ini tak sekalipun aku merasa bosan menjadi pria single sebab aku sudah mendapat banyak cinta tanpa perlu terikat pada suatu hubungan. Hari-hari penuh latihan, show, syuting, dan sekarang ketika aku benar benar dibuang, aku merasa begitu canggung dan terlambat untuk mencari seseorang.
“Ah, hyung. Kau tau shoon Ae? Teman istriku. Kau tau dia tertarik padamu kan? Bagaimana kalau kukenalkan?”
“Ah, jeongmal. Aku lari dari ibuku dan sekarang kau justru melakukan hal yang sama. Pergilah ke tempatmu, aku menggajimu untuk membuat lidah pengunjungku dimanjakan, bukan menggosip Yoon Jae Rim!”
“Permisi, aku mau satu americano” gadis itu lagi. Pukul 11.00, dia selalu datang di jam yang sama, dengan pesanan yang sama kemudian duduk di kursi pinggir jendela membiarkan wajahnya tersiram cahaya matahari, begitu bersinar. Hal yang menggangguku adalah baju yang ia gunakan, seakan dia memiliki benda itu di seruluh lemarinya. Dia selalu meminun americanonya lambat lambat, sekitar 15 menit sambil menatapku diam-diam. Oh bukankah aku terlalu mempesona? “Permisi, aku mau satu americano” dia mengulang. Begitu memalukan!
“Baiklah, satu americano. Ada lagi?”
“Tidak, itu saja” dia memberikan sejumlah uang sebelum kusebut berapa besar yang harus ia bayar, tentu saja seseorang harus sudah hafal ketika ia selalu datang bahkan sejak pertama kali tempat ini dibuka.
Kemudian sesuai dugaanku dia menjalani rutinitas yang kusebut secara runtut, benar-benar wanita membosankan yang mudah ditebak. Aku yakin, sampai saat ini dia masih sendiri di usianya yang produktif. Oh aku tidak sedang mencemooh karena aku nyaris sama menyedihkannya. Mungkin, bahkan lebih.
Gadis itu melirikku, tapi kali ini cukup lama seakan ingin menunjukkan jika dia melihatku. Maka untuk menghargai usahanya aku  balas menatapnya, mengunci mata yang bergerak-gerak gelisah seakan ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku tak dapat memahami apapun.
Sementara ponselku bergetar bersamaan tulisan ‘eomma’ muncul pada layar. Ini bukan saat yang tepat. Aku sempat berdebat dengan bagian diriku yang kelam tentang apakah harus mengangkat atau berpura-pura tak melihatnya. Namun sisi kelam tak pernah menang, pada detik detik terakhir aku justru mengangkat ponsel, menekan tombol hijau yang terpampang di layar sebelum mendesah, “Ada apa lagi, eomma?”
“Pulanglah, ada teman cinamu disini”
Liuwen. Itu pasti dia.
“Aku akan sampai rumah 15 menit lagi” dadaku naik turun. Ini bukan jenis nafas bahagia atau antusias, atau semacamnya aku hanya terlalu terkejut akan kedatangannya. Jika benar itu Liuwen, apa yang dia lakukan? Ini sudah lebih dari dua tahun. Kami bahkan tak pernah memiliki hubungan spesial di luar shooting. “Chaerim, gantikan aku di kasir. Aku harus pergi”
Dan aku pergi benar benar cepat, bahkan sebelum seorang pegawai menggantikan posisiku.
Aku sampai tiga menit lebih awal dari yang kuperkirakan. Terdengar tawa pelan ibu dari ruang tamu yang membuatku mengernyit bingung. Sejak kapan mereka sedekat itu?
Ketika sampai di ruang tamu, aku lebih terkejut lagi. Aku salah. Tidak ada liuwen. Hanya ibu, dan mereka berdua. “Oh, siwon kau sudah datang. Duduklah mereka sudah menunggumu dari tadi”
“Kenapa eomma tidak langsung bilang jika yang datang henry dan zhoumi?”
“Kami yang melarang, hyung.” Henry menginterupsi, tubuhnya terlihat sedikit lebih kurus dari yang terakhir kulihat. “Woo jangan bilang kau mengharapkan kedatangan orang lain”
“Liuwen!”
Oh dasar zhoumi bodoh. Aku melirik diam-diam kearah ibu yang tersenyum kaku. Sementara dua lelaki cina itu tertawa geli, “Jangan bicara yang tidak-tidak, kami bahkan tidak pernah saling menghubungi ” tidak sepenuhnya benar, setidaknya beberapa kali kami pernah berhubungan saat masih terlibat pada WGM.
“Sampai kapan kau mau berdiri di sana? Duduklah, eomma mau pergi dulu”
“Kemana?”
“Mencarikanmu jodoh”
“Eomma, jangan bertingkah yang aneh-aneh!”
Sepeninggal eomma suasana berubah canggung. Aku duduk di sofa yang sebelumnya ditempati ibu, itu berarti zhoumi dan henry berada di seberang. Kami terjebak dalam suasana hening yang cukup lama. Sampai pada akhirnya aku memberanikan diri memulai percakapan meskipun dengan kalimat basa basi seperti menanyakan kabar.
“Kami baik” Zhoumi yang saat itu menjawab. Bibirnya membentuk sebuah lengkungan yang -jika aku perempuan- terlihat memesona. “Kau sendiri bagaimana? Kudengar dari ahjumma kau membuka cafè?”
“Yah begitulah, memiliki sebuah cafè seakan menjadi satu satunya hal baik di usiaku yang sekarang”
“Jangan bercanda hyung, selain kibum kau adalah aktor yang kami miliki. Kenapa tidak main drama saja?”
Aku tersenyum, tidak langsung menjawab. Ada sedikit kenangan yang tiba tiba lewat, benar-benar hanya lewat, tanpa singgah. “Entahlah, ada bagian dalam diriku yang merasa itu tidaklah benar”
Hening kembali membuatku bertanya-tanya apakah aku memberi jawaban yang terlalu serius. Namun setelah kupikir ulang, kurasa itu sudah lebih baik dibanding aku membawa masa lalu dan tersedu-sedu. Kemudian aku meneguk segelas teh yang baru saja diantar shin ahjumma untuk mengatasi sesuatu yang mendesak keluar dari mulutku. Menghantam langit langitnya hingga rahangku mengeras bak pualam. Kupikir aku bisa menahannya, namun pada akhirnya kalimat itu termuntahkan, “Maafkan aku”
Tak ada jawaban. Aku tak berani mengangkat kepala untuk melihat reaksi yang mereka berikan. Sebaliknya, mulutku yang tadinya berjuang menahan kini justru terbuka tanpa rem. Aku terus berbicara tanpa tahu caranya berhenti, namun disaat yang sama ada kegelisahan apakah yang kuucapkan akan baik-baik saja. “Jika saja hari itu kami lebih berjuang, kalian pasti bisa datang. Elf tak akan kecewa dengan ketidakhadiran 15 orang, media tidak akan berpikir macam-macam, dan..”
“Hyung kami tidak apa-apa. Kami tidak ingin kalian terus membahasnya, lagipula itu sudah lama”
Aku mendesah. Tak peduli seberapa keras mereka mengatakan tidak apa-apa, tapi aku tahu dengan jelas hari itu mereka kecewa.
Saat itu kami terlalu sibuk mempersiapkan gedung dan lain-lain, hingga sehari sebelum show kami baru sadar jika Zhoumi dan Henry belum mendapat kabar. Dengan tangan berkeringat hari itu kudengar leeteuk hyung menghubungi mereka, ia terbata mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin sambil berusaha untuk tidak menyakiti. Aku tau itu terlalu sulit baginya, saat kulihat wajahnya tak lagi sekedar berkeringat, ada air mata disana. Mengalir begitu mudah sampai membuat suaranya bergetar, ini bukan karena leader kami seorang yang melankolis, aku yakin siapapun hari itu yang mengambil posisinya akan melakukan hal yang sama. “Super junior tak akan tampil lagi, maafkan aku”
Aku menutup mata, dalam sekejap ruangan berubah hening seakan masing masing dari kami menahan nafas. Aku tak tau apa yang terjadi, namun di sebelah kudengar Eunhyuk terisak pelan. Tentu saja, ini bukan hanya terlalu berat bagi leeteuk hyung, bagi kami juga.
“Besok adalah stage terakhir kita, kalian harus datang”
“Apakah kontraknya mungkin untuk dibatalkan?”
“Bagaimana dengan video call? Sekitar pukul tujuh?”
“Ah, baiklah. Akan kusampaikan pada yang lain. Maafkan aku”
Sebelum Leeteuk hyung menjauhkan ponselnya, kami sudah mengintimidasinya dengan tatapan menuntut penjelasan. Ia menggeleng pelan, bibirnya menggumam tak jelas, begitu panjang tapi satu-satunya hal yang dapat kumengerti hanya “leder gagal”
Show berjalan di luar rencana, kami tak dapat memenuhi harapan ELF untuk melihat 15 lelaki yang selama  ini mereka lindungi, henry dan zhoumi ada pekerjaan di Cina, terlalu mendadak untuk membatalkan kontrak. Ini semua salah kami, jika saja hari itu kami tidak terburu-buru.
“Jujur saja, kami terbebani, merasa bersalah setiap kali memikirkan bagaimana kalian merasa bersalah pada kami, dan bagaimana leeteuk hyung menganggap dirinya gagal sebagai seorang leader. Kami tak ingin terus menerus merasa seperti ini, jadi kami mohon berhentilah meminta maaf ”
“Aku tidak yakin aku bisa”
“Kurasa, kita harus bisa”
***
Aku seperti pria bodoh, lagi-lagi memasuki sebuah restoran karena mengalah pada eomma. Seorang pelayan mengantarku pada meja yang sudah kami pesan, gadis itu harusnya sudah berada disana mengingat aku telah sengaja terlambat 20 menit.
Meja itu terletak sedikit ke tengah, salah satu kursinya ditempati seorang wanita berambut lurus, dari caranya duduk aku tau dia berpendidikan, cantik, dan mungkin anggun. “Siwon oppa..”
Mataku melebar, bukankah ada masalah pada pendengaranku? Aku tak tau sebarapa supel dia sampai berani memanggil oppa di pertemuan pertama. Maka aku mulai mengamatinya, sedikit melakukan penelitian, kemudian membulatkan mata semakin lebar ketika aku tahu dia gadis yang selalu memesan americano lalu duduk selama 15 menit. Dia terlihat berbeda tanpa kaos itu, tekesan lebih cantik dengan gaun marun selutut.
Aku duduk pada kursi depannya, mencoba menekan keterkejutan meski hanya sedikit. Sementara gadis di depanku terlihat tak kalah terkejutnya. “Kurasa, dunia ini sempit”
“Aku tidak yakin, tapi itu yang orang-orang katakan”
“Kau mengingatku?”
“Ya, kau yang datang ke cafèku setiap jam 11”
“Oh kau tidak mengingatnya” dia mendesah kecewa, membuatku bertanya-tanya apakah di masa lalu aku pernah menjadikannya kekasihku? “Kau ingat pernah membuat janji akan kembali dari wamil dengan selamat?”
“Jangan-jangan kau..”
“Ya, aku salah satu dari ELF yang tidak sengaja bertemu denganmu dua hari sebelum wamil” dia berhenti sejenak ketika seorang pelayan menanyakan pesanan kami, dua aglio olio dan anggur. “Hanya untuk menagih janjimu aku harus datang ke cafèmu setiap hari, tapi kau tidak menyadariku, oh menyebalkan sekali”
“Kau memakai kaos bertuliskan super junior setiap hari, aku tahu”
“Lalu aku harus terkesan?”
“Mengingat banyaknya jumlah pengunjung, kurasa ya”
“Choi Siwon, kau begitu menyebalkan! Jika kau berjanji akan kembali maka kembalilah dengan benar! Bukannya melakukan hal tak jelas disini”
“Aku disini untuk bertemua anda Nona..”
“Han Min Rin”
“Han Min Rin-ssi, lagi pula kami sudah melakukan show terakhir sekaligus comeback ku, hae, dan eunhyuk. Apakah kau datang hari itu”
“Tidak, aku terlalu sibuk menangisi kalian” jeda sebentar, seorang pelayan datang ke meja kami membawa pesanan. Beberapa kali dia terlihat tersenyum ramah ke arah Min Rin, namun gadis itu masih menatapku kesal. Terlihat siap untuk meletus. “Acara itu terlalu sederhana dan kalian menyebutnya sebagai show terakhir? Sebuah perpisahan? Ayolah, kalian begitu terkenal, dan perpisahan semacam itu bukanlah apa yang ELF bayangkan. Setidaknya jika kalian pergi, kami ingin kalian pergi dengan terhormat”
“Jadi maksudmu yang kemarin kami terlihat tidak terhormat?”
“Ya, aku seperti melihat sekelompok laki laki yang di phk”
“Tapi begitulah kenyataannya”
“Maka tidak bisakah kalian berpura pura demi kami?”
“Saat itu tidak memungkinkan. Kalian pikir kami tidak mengharapkan show yang lebih besar?”
“Kalo begitu kita adakan ulang. Aku akam mencari sponsor dan mungkin jika beruntung aku bisa membuat itu tayang di televisi. Kau hanya harus meyakinkan mereka, harus ber15, dan tampilkan sesuatu yang mengesankan”
Aku tersedak, dia pikir mencari sponsor seperti membalik telapak tangan? “Min Rin-ssi,  ini sudah dua tahun, empat tahun jika dihitung semenjak aku wamil. Lebih baik kau mencari orang lain untuk diidolakan.” Aku meneguk pelan anggur, mungkin aku adalah orang paling sialan yang pernah ia temui. “Makanlah, setelah ini kuantar pulang”
***
Setelah acara makan malam itu aku tak lagi melihat gadis pukul 11. Mungkin baginya tak ada lagi alasan untuk kemari, penagihan janjinya sudah terpenuhi dan aku tak peduli –sebenarnya mencoba untuk tak peduli sebab kenyataannya aku tak bisa berhenti memikirkan penawarannya malam itu.
Bagaimanapun dia adalah seorang fans yang pernah mendapat janjiku, sedikit banyak aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku tahu ada gurat sedih di wajahnya, sebuah bentuk kekecewaan namun juga amarah yang dapat kurasakan disaat yang sama.
Sebuah kenangan lain turut berkelebat menambah kegelisahan. Dua hari yang lalu ketika kangin hyung mengunjungi café, aku sempat bertanya apakah dia cukup puas dengan show terakhir kami. Sebentar, dia menatapku sendu sebelum menggeleng pelan. Tentu saja, tak ada satupun dari kami yang merasa puas, untuk apa lagi aku bertanya.
Maka pada hari ke lima kuputuskan untuk menghubungi Min Rin lewat nomor ponsel yang kudapat dari eomma, wanita itu tersenyum penuh makna ketika aku menghampirinya, kurasa aku membuatnya salah sangka.
Kami membuat janji untuk bertemu di hari keenam, di café milikku pada pukul 11 seperti biasanya ia memesan americano, duduk di dekat jendela, hanya saja kali ini aku duduk di kursi yang sama, terlibat perbincangan dengan gadis yang selama ini menatapku diam-diam.
“Kita akan melakukan konsernya kan?” dia memekik antusias, matanya terlalu berbinar untuk ukuran gadis 29 tahun. Aku mengedikkan bahu pelan, lalu menenguk espresso yang tadi sempat kuminta pada Jae Rim.
“Tergantung apakah yang lain setuju atau tidak, mereka akan disini setengah jam lagi”
“Oke, akan kutunggu”
“Tidak perlu. Kau bisa pergi sekarang”
“Oh aku tidak keberatan menunggu”
“Kau tidak pergi kerja? Atau pengangguran?”
“Kau akan terkesan jika tahu pekerjaanku. Jadi berhentilah mengoceh, aku akan menunggu di sini sampai mereka datang”
Aku tak bisa lagi membantah. Sisa waktu banyak kuhabiskan untuk mengecek ponsel, sesekali menjawab pertanyaan Min Rin jika kurasa dia sudah terlalu berisik. Yah, dia cukup cerewet.

***
“Aku tak ingin melakukannya”
“Kenapa? Bukankah ini rencana yang bagus?”
Kami sedang berada pada salah satu ruangan di caféku, dan kecanggungan begitu cepat membungkus ruang diantara kami ketika Min Rin dengan antusiasme yang sama menjelaskan rencananya. “Kau pikir sudah berapa lama sejak kami memutuskan untuk berhenti?”
“Dua tahun, belum terlalu lama”
“Tapi bagi kami, ini sudah lama” ryeowook menambahkan, lebih tenang dari yang lain. “Sudah lama kami tidak latihan bersama, rasanya akan begitu kaku. Kami tidak ingin mengecewakan, Min Rin-ssi ”
Gadis itu menatapku, menuntut pembelaan namun yang bisa kulakukan hanya mendesah. Aku tidak ingin terlalu menjadi seorang promotor, mengumpulkan mereka untuk membahas hal ini sudah menjadi beban tersendiri bagiku.
“Baiklah kita dengarkan pendapat leader kita, Leeteuk oppa, eotte?”
“Entahlah, mungkin yang lain benar, sudah terlalu lama”
“Kita bisa latihan dulu Hyung, beberapa bulan mungkin” pada akhirnya aku bersuara juga, mengundang pandangan 14 pria lain beralih padaku. “Kita tidak harus melakukannya dalam waktu dekat, kurasa akan sulit juga bagi Min Rin-ssi untuk mendapatkan sponsor”
“Jangan bertingkah bodoh choi siwon, kau jelas tahu apa alasan sebenarnya”
“Tidak, aku tidak tahu” gadis itu memotong, “Jadi beri tahu aku!”
Kami semua bungkam.
“Tidak adakah yang bisa memberitahuku?”
“Karena kami semua terlalu takut” Eunhyuk yang menjelaskan. “Ini sudah dua tahun, bagaimana jika kami mengadakan konser dan tidak ada yang datang? Kami tidak ingin terluka untuk yang kedua kalinya”
“Kalian tidak percaya pada ELF!”
“Kami pernah ditinggalkan”
“Tidak semua. Aku tetap menunggu kalian bahkan setelah dua tahun. Aku yakin ada lebih banyak lagi yang menunggu, jika kalian tidak memiliki mimpi akan panggung ini. Anggap saja, kalian sedang mewujudkan impian kami, impian ELF untuk melihat kalian berlimabelas di satu panggung. Demi ELF, demi orang-orang yang pernah kalian anggap malaikat kalian, kumohon..”
“Hyung, kuingatkan jika kita juga memiliki satu impian yang belum diwujudkan,” berhenti sejenak untuk menghirup nafas, aku melihat tepat ke dalam mata Leeteuk Hyung, “Membuat ELF bahagia”
***
Hari itu kami pulang tanpa hasil, Leeteuk hyung mengatakan akan memikirkannya ulang –yang bagiku terlihat seperti penolakan. Namun siapa sangka diam-diam dia menemui kami, meyakinkan kami untuk melakukannya, entah berapa hari sampai akhirnya kami semua setuju.
“Bagaimana perasaanmu?”
Dia mengagetkan, begitu tiba-tiba muncul sekedar untuk membenarkan jasku. “Nervous, kau?”
“Luar biasa antusias”
Aku tertawa begitu lebar. Tentu saja dia gadis 29 tahun yang paling mudah antusias dari sekian gadis yang pernah kukenal. Dia gadis yang menawan, dengan paras cantik, sesekali mampu terlihat anggun, namun yang paling kusukai darinya adalah mulut cerdasnya.
“ELF akan suka, tak ada yang mengecewakan ketika kalian latihan” ini adalah hari itu, panggung impian kami. Aku tak tahu bagaimana cara Min Rin melakukannya, tapi kami benar-benar mendapat sponsor dan stasiun televise sebulan setelah kami setuju.
“Latihan memang selalu lebih baik”
Dia tersenyum, menenangkan. “Berapa menit lagi?”
“Lima”
“Kalau begitu kau harus segera keluar”
“Min Rin-ssi”
“Ya?” dia menatapku, bingung sekaligus penuh kekhawatiran, “Oppa, kau baik- ba..”
Sialan. Aku tak tau apa yang salah denganku hari itu, dengan bodohnya dan tanpa pikir panjang aku mendekati Min Rin, menghapus jarak diantara kami, menempelkan bibirku pada miliknya yang merah, mencoba menyampaikan perasaan yang aku sendiri masih tak mengerti. Hanya beberapa detik sampai aku melepasnya, dia terlihat bingung, membeku, tapi aku tak dapat melupakan semburat merah di pipinya. “Terimakasih untuk segaalanya, My Angel”
Dan pipinya semakin merona. Aku tak bisa menyembunyikan senyuman geli ketika dia menatapku penuh tanda Tanya. Tapi biarlah pertanyaan itu tak terjawab, sampai aku selesai membuat ELF bahagia.
Di menit berikutnya, aku naik ke atas panggung bersama 14 pria lain dengan suara teriakan keras menyambut kami, dan satu yang selalu menjadi favoritku, sapphire blue ocean. Aku menitikkan air mata, sudah begitu lama dan mereka tetap ada. Terimakasih, ELF.
-end-

mungkin aku kemarin janjinya main castnya hyuk, tapi berhubung ikutan event special siwon jadi diganti.
mohon review ya. author berterimakasih sudah banyak yang baca dan mengunjungi blog ini, tapi author juga butuh review setidaknya sebagai bentuk penghargaan. tidak perlu pujian, kritikan juga gak apa, asal masih sopan. jadi mohon reviewnya. buat kalian yang juga punya wattpad, follow author @annnimu , ada cerita author yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar