Sepi
Rintik
demi rintik menyelusup keluar dari sela-sela cakrawala, membasahi bumi juga
kebejatannya, seolah menemani hati seorang gadis yang sedang gundah gulana. Dia
tengah termenung memandang langit biru dan awan yang begitu membosankan dari
balik jendela kamarnya. Gadis itu lalu menarik tatapannya, kepala mungilnya disembunyikan
dibalik lutut. Mukanya yang manis ditekuk seolah menyimpan kesedihan tiada
tara. Tuhan seakan mencabut akar-akar senyuman dari wajahnya, menanam pohon
luka dalam kehidupannya. Ya, masa-masa kelam Gina dimulai ketika gadis itu menginjak usia 8
tahun, suatu usia yang seharusnya menjadi masa kebahagiaan, tapi berubah
menjadi masa kehancuran. Pertengkaran kedua orangtuanya yang berlarut-larut
berujung pada perceraian. Keegoisan orangtuanya makin memberikan tamparan keras
dalam kehidupan Gina. Dia tak bisa lagi hidup tentram, tiap minggu dia harus pindah dari 1
atap ke atap lainnya. Hanya demi memuaskan hasrat kedua orangtuanya yang tak
ingin tinggal jauh dengannya. Tapi nyatanya, ketika dia mulai mengetuk sebuah
pintu rumah, lalu tinggal didalamnya ia tak mendapat kasih sayang yang dia
harapkan, hanya kesendirian.
Gina. Gadis mungil nan lemah itu mulai mengangkat
kepalanya, menatap kosong dunia luar lewat jendelanya. Dunia luar yang penuh
dengan kebahagiaan dan mimpi-mimpi yang sempat dia miliki. Terlihat jelas rasa
terlukanya lewat sepasang mata yang terlihat sembab. Gadis itu mulai beranjak
dari tempat tidurnya, memutar gagang pintu yang seharian ini tak dia sentuh.
Sepi. Hanya sepi yang dia temukan. Gadis itu terus berjalan ke dapur, mengambil
segelas air putih lalu meneguknya perlahan, sepasang manik matanya menangkap
foto pasangan yang terbingkai rapi didinding. Itu foto Ibu dan Ayah tirinya
yang menikah 4 tahun lalu, yang membuat Gina makin
tersisihkan. Banyak yang mengatakan Gina
beruntung memiliki 2 Ayah, tapi mereka salah. 2 Ayah bukan
berarti perhatiannya bertambah, tapi yang bertambah adalah perasaan tersayat
dihatinya, karna tak ada satupun perhatian yang ditujukan untuknya.
Pagi ini sama seperti pagi-pagi
kemarin, begitu membosankan. Gina hanya terbaring di ranjangnya, menatap lekat rerintik hujan yang slalu
menemani hari-harinya. Entah kenapa, tiba-tiba gadis itu merasakan jantungnya
begitu sakit, nafasnya sesak, keringat dingin bercucuran, badannya lemas
sehingga untuk merintih begitu susah. “ahh..” rintih Gina sekuat tenaga,
membuat seorang wanita tua berlari menghampirinya. “Mbak kenapa? Sakit? Kita
kerumah sakit yaa?” tawar wanita itu, tapi Gina menolaknya. “Telfon Ibu bik, dia yang akan
mengantarkanku” ucapnya disela-sela rasa sakit. Wanita tua itu langsung mendekati telepon yang
terbaring diatas meja, diangkatnya gagang telefon. Seorang wanita 30 tahun di seberang sana
mengangkatnya. “Bu mbak sakit, dia minta Ibu mengantarkannya”. “Saya sibuk bik,
Bibi saja yang mengantarkannya”. Tut..tut..tut.. saluran itu terputus, dengan
ragu wanita itu mendekati Gina yang terus menahan sakit. “Mbak Ibu sedang sibuk, mending berangkat
sama Bibi saja” jelasnya tak tega. “Telfon ayahku bi, dia pasti mau” pintanya.
Lagi-lagi wanita tua itu menelfon seseorang yang dipanggil Gina dengan sebutan Ayah,
“Mbak Gina
sakit parah pak. Minta diantar ke rumah sakit” kata wanita itu. “Suruh saja
Ibunya yang mengantar, saya tidak bisa” ujarnya santai, yang membuat Gina terpaksa pergi
bersama pembantunya.
Belum cukup rasa sakit dihatinya
yang terus menerus diukir kedua orangtuanya, apalagi mereka tadi telah menolak
untuk mengantarkan Gina, hanya karna sebuah pekerjaan. Kini dia harus menelan kenyataan pahit
lainnya, jantung bocor, itu penyakit yang diidap Gina. Penyakit mematikan yang tak pernah dia
bayangkan sebelumnya.
Waktu terus berlalu, sebenarnya Gina sadar jantungnya
semakin memburuk dan bisa saja dia
tiba-tiba mati. Ya, setahun sudah menyembunyikan
penyakitnya, hingga suatu hari jantungnya terasa sakit, dan dia merasa waktunya
tak terlalu lama lagi. “Aku ingin pergi ke taman hiburan. Aku mohon kali ini
saja temani aku, buktikan jika aku berharga dalam hidup kalian” pinta Gina pada 3 orangtuanya
dan mereka semua mengangguk setuju. Hari yang ditunggu telah tiba, Gina berangkat lebih awal
dengan menggunakan taksi. Dia menunggu ke-3 orangtuanya di depan pintu masuk
seperti kesepakatan awal. Gadis itu menebar senyumnya.
2 jam berlalu.. tapi tak ada
satupun dari mereka yang datang, gadis itu masih tetap menunggu. Berdiri dengan
kaki yang sudah hampir lemas, tapi senyum itu masih disana, senyum manis yang
menghilang sejak umurnya 8 tahun.
5 jam berlalu.. namun batang hidung
mereka belum terlihat, Gina merasa sedikit sakit di jantungnya, tapi dia tak mau pergi, dia yakin mereka
akan datang. Tapi hingga malam, hingga taman hiburan iu hampir sepi, tak ada
satupun dari mereka yang datang, mereka tak menepati janjinya. Gina pulang dengan
sebonggol luka, kecewa, dan rasa sakit di jantungnya yang begitu parah, jauh
lebih parah dari apa yang pernah dia rasakan.
Rumah begitu sepi, Gina benar-benar merasa
kesepian. Hanya sakit dijantungnya yang menemaninya, benar-benar sakit. Dia
menggulung-gulungkan badannya, bahkan sampai menangis menahan sakit. Gadis
mungil itu benar-benar merasa lelah, tapi dia tetap melakukan sesuatu yang
dianggap penting. Dia melakukannya, hingga dia benar-benar melepas lelahnya
untuk selamanya.
Ketika pagi mulai menyapa, hujan
air mata mulai datang. Ayah Gina menangis tak terkendali setelah menemukan tubuh Gina dingin tak bernyawa,
begitu juga dengan Ibu dan Ayah tirinya yang histeris setelah mendengar kabar
tersebut. Hanya sebuah surat yang dia peluk ketika pergi, itulah yang dia
anggap penting.
Untuk kalian,
Ayah, Ibu, dan Ayah
Ini malam yang indah bukan? Tadinya Gina mengajak kalian ke
taman hiburan untuk mengatakan sesuatu, tapi sepertinya kalian terlalu sibuk.
Mungkin bekerja adalah perioritas hidup kalian, bukan aku.
Sebenarnya setahun ini, Gina mengidap jantung bocor. Maafkan Gina karna tak mengatakannya
terlebih dahulu, tapi ini semua karna Gina ingin kalian menyadari sendiri. Gina merasa kesepian dan
marah pada kalian. Semenjak perceraian 7 tahun lalu Ayah dan Ibu semakin tak
akur, aku kalian lupakan. Aku seperti tak pernah kalian anggap.
Ketika Ibu memutuskan menikah lagi, aku pikir
aku akan bahagia karna akan ada yang menyanyangiku, tapi aku salah! Ayah baruku
ini juga sama sibuknya seperti kalian.
Ayah, Ibu, dan Ayahku. Jujurlah, seberapa
pentingnya aku bagi hidup kalian? Apakah tak berharga? Kenapa disaat aku merasa
membutuhkan kalian dimasa terakirku, kalin malah tak ada! Kemana? Hanya sebuah
taman hiburan! Tapi kalian malah mementingkan pekerjaan! Itu masa-masa
terakhirku! Aku tak menginginkan apapun, hanya senyum yang kuinginkan, dan itu
karna kalian. Tapi kalian malah tak datang.
Kini saatnya aku untuk pergi, tak akan
kembali. Aku harap kalian bahagia tanpaku.
Sekarang tak ada
lagi yang tersisa, hanya penyesalan tak berujung. Surat pendek berbalut air
mata yang menjadi saksi bisu penderitaan Gina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar